Senin, 03 Oktober 2016

Lunturnya Adat dan Budaya Aceh

     Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, transportasi, bahkan budaya, tidak dapat kita hindar lagi dari pengaruh globalisasi. Globalisasi memiliki banyak dampak, baik positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif yang berpengaruh besar yaitu banyak budaya Barat yang masuk di negara kita. Sebagian besar generasi muda seperti kita lebih memilih budaya Barat ketimbang budaya masyarakat Indonesia asli. Itu karena mereka tidak mau ambil pusing dan menganggap budaya Barat lebih modern, simple, dan popular. Apabila pemikiran generasi muda tersebut tidak cepat kembali untuk mencintai budaya tradisional Indonesia, dapat dipastikan kebudayaan kitaa akan jauh lebih cepat luntur.

     Kebudayaan secara umum diartikan sebagai "Segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi (pikiran) manusia dengan tujuan untuk mengolah tanah atau tempat tinggalnya, atau dapat pula diartikan segala usaha manusia untuk dapat melangsungkan dan mempertahankan hidupnya di dalam lingkungannya". Di negara kita hampir setiap provinsi memiliki kebudayaannya masing-masing, seperti tarian daerah, alat musik daerah, senjata tradisional, bahasa daerah, pakaian adat, dan sebagainya.

     Majunya teknologi informasi dan teknologi komunikasi telah menjadi alat untuk kita mengetahui budaya-budaya baru, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dan juga menjadi alternatif pilihan hiburan yang lebih beraneka macam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat kurang tertarik lagi untuk menikmati seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya manjadi kegiatan wajib bagi mereka untuk menghibur diri.

     Dalam kasus ini saya mengambil contoh kebudayaan dari Aceh yang mungkin dipandang rendah oleh sebagian orang. Budaya khas Aceh yaitu seni Cae (seni tutur kata, syair-red) sekarang ini hampir  punah karena sedikitnya kepedulian masyarakat Aceh itu sendiri terhadap seni ini. Tapi sebagian masyarakat Aceh masih banyak yang menyukai seni budaya Cae, karena selain sebagai hiburan, seni Cae juga berpengaruh besar sebagai media dakwah. Medya, seniman Aceh ini berharap kepada pemerintah agar diadakannya kurikulum di sekolah tentang seni Cae atau seni tutur, agar seni budaya itu tetap tumbuh bersama generasi muda saat ini. Aceh dikenal dengan beraneka ragam budayanya, selain seni tutur ada juga event yang sering dirayakan masyarakat Aceh pada bulan Ra'jab yaitu Khanduri Apam, namun orang-orang kini semakin jarang menggelr event tersebut. Ada lagi budaya Aceh yang perlahan luntur bahkan hilang, seperti Meudamee yaiu adat dan kebudayaan yang mendamaikan orang dalam suatu gampong yang terlibat perkelahian. Budaya luar juga telah menarik banyak pengikut dan masyarakat Aceh sendiri telah mulai meninggalkan adatnya seperti Peusijuk, Petron Aneuk, Kenduri Blang, Kenduri Laot, Resepsi pernikahan, dan lain-lain yang mulai dilakukan mengikuti arus perkembangan trend budaya Barat.

     Menurut sejarawan Aceh, selain karena kencangnya arus budaya luar yang masuk tapi faktor dari dalam Aceh sendiri yaitu konflik berkepanjangan yang melanda Aceh, serta hilangnya tokoh adat-adat Aceh juga menjadi penyebab budaya tersebut perlahan luntur.

     Sebagai generasi muda, jiwa dan sikap nasionalis sangat diperlukan pada era globalisasi ini, yaitu untuk mempertahankan dan melestarikan budaya bangsa. Diperlukan kekompakan untuk saling mengisi dan mendukung dalam menjaga kelestarian budaya tersebut. Organisasi-organisasi islam di Aceh pun saat ini mulai aktif mengkampanyekan anti budaya Barat dan mengecam budaya tersebut, karena tidak sesuai dengan syariat islam yang telah diberlakuan Aceh sejak lama. Kita juga harus dapat memilah dan memilih budaya baru yang masuk secara positif serta bermanfaat bagi banyak orang sehingga tidak menimbulkan konflik baru. Kita juga boleh terus mengikuti arus modernisasi tersebut tapi jangan sampai meninggalkan budaya sendiri.